Kontekstual Bangunan Baru di Kawasan Gedung Sate

“Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis”, demikianlah pernyataan Ir. H. P. Berlage ketika berkunjung ke Gedung Sate pada tahun 1923. Banyak arsitek dan ahli bangunan yang berpendapat bahwa Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona. Dua arsitek Belanda, Cor Pashier dan Jan Wittenberg juga menyatakan bahwa langgam arsitektur gedung sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa atau dikenal pula dengan nama arsitektur indis. Perancangan Gedung Sate sangat dipengaruhi oleh gaya perancangan arsiteknya, Ir. J. Gerber, yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda, Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara. Begitu banyaknya arsitek yang memuji keberhasilan desain Gedung Sate, sehingga tidak heran jika di dalam buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (1952) tercantum bahwa Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia.

Berdasarkan data yang didapatkan dari situs pemerintah Jawa Barat, kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik. Gedung Sate berdiri diatas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m². Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat “tusuk sate” dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden – jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara. Gedung Sate juga memiliki taman dan halaman yang tertata dengan baik. Di bagian depan kompleks bangunan terhampar alun-alun luas yang mampu menanmpung banyak orang. Gedung berwarna putih ini sampai sekarang masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.

Gedung Sate mulai dibangun pada tahun 1920. Dalam kurun waktu 4 tahun, telah diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf dan Perpustakaan). Pada tahun 1977, kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir. Sudibyo diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah. Bangunan baru ini terletak di sayap barat kompleks bangunan Gedung Sate.

Selain menjadi bangunan pemerintahan, saat ini taman Gedung Sate sudah menjadi tujuan obyek wisata baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Pada akhir pekan, halaman Gedung Sate akan dipenuhi oleh masyarakat yang berolahraga, duduk-duduk bahkan berjualan di sekitarnya. Seseorang yang lewat di depan Gedung Sate seketika akan terpesona dengan kemegahannya dan mengagumi keseluruhan kompleks bangunan Gedung Sate. Namun, masyarakat yang mengunjungi Gedung Sate tidak akan mengetahui kenyataan bahwa pembangunan kompleks Gedung Sate tidak dibangun dalam masa yang bersamaan, kecuali jika mereka sudah mengetahui sejarah bangunan tersebut. Hal itu terjadi karena arsitek Sudibyo mampu mengadopsi nilai dan prinsip yang dianut Gerber dalam perancangan Gedung Sate, untuk diterapkan pada perancangan bangunan baru di bagian barat kompleks Gedung Sate.

Dari tiga prinsip perancangan arsitektur kontekstual, Ir. Sudibyo tampaknya menerapkan prinsip replikasi dan harmoni pada desain bangunan baru di Gedung Sate untuk menciptakan kesan kontekstual bangunan baru terhadap bangunan lama. Bentuk massa bangunan baru mereplikasi bentuk massa bangunan lama di sayap timur kawasan Gedung Sate. Keberadaan dua masa bangunan (bangunan lama dan baru) di sayap timur dan barat kawasan menciptakan sumbu simetri pada Gedung Sate, sehingga kemegahan Gedung Sate makin terasa monumental.

Bangunan Gedung Sate menggunakan prinsip perancangan arsitektur indis. Menurut C. P. Wolff Schoemaker, arsitektur indis memiliki ciri bangunan dengan sosok yang umumnya simetris, memiliki ritme vertikal dan horizontal yang relatif sama kuat, serta konstruksi bangunannya disesuaikan dengan iklim tropism terutama pada pengaturan ruang, ventilasi masuknya sinar mataharim dan perlindungan hujan. Sudibyo juga mengharmonikan prinsip-prinsip tersebut dalam upaya mendesain bangunan yang kontekstual. Harmoni tersebut tampak pada elemen-elemen bangunan baru yang menggunakan prinsip pada bangunan lama. Empat elemen bangunan tersebut antara lain dinding, atap, pintu, dan jendela. Dinding bangunan lama Gedung Sate memiliki ketebalan hingga mencapi satu meter. Pada bangunan baru dinding dibangun memang tidak setebal dinding bangunan lama, namun proporsi dinding yang terlihat dari luar (fasade) menciptakan kesan ketebalan dinding yang sama dengan bangunan lama. Pada desain atap, Sudibyo juga mengambil nilai dan prinsip perancangan bangunan lama yaitu penyesuaian terhadap iklim tropis. Kemiringan atap material baru disesuaikan sehingga memiliki bentuk yang sama dengan bangunan baru. Begitupula dengan material yang digunakannya. Untuk perancangan pintu dan jendela, Sudibyo hanya menggunakan proporsi ukuran yang sama, namun tidak memakai jenis pintu dan jendela yang sama.

Bangunan baru di kawasan Gedung Sate ini dapat dikatakan berhasil karena mampu menyesuaikan konteksnya dengan bangunan yang lama. Keberadaannya makin menegaskan kebesaran bangunan pemerintah yang identik dengan desain yang simetri, kokoh, dan agak tertutup. Hal yang terpenting adalah keberadaan bangunan ini tidak pernah mencolok mata masyarakat yang memandangnya, namun bangunan baru tersebut dapat berdiri berdampingan dengan bangunan yang lama seakan-akan ia dibangun pada era yang sama, walaupun pada kenyataannya berbeda 50 tahun.

Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Dan Gedung Sate yang terkenal hingga saat ini adalah Gedung Sate dengan bangunan baru di sebelah barat kawasan.

~ by Siti Arfah Annisa on February 18, 2011.

Leave a comment