Kontekstual Bangunan Baru di Kawasan Gedung Sate

•February 18, 2011 • Leave a Comment

“Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis”, demikianlah pernyataan Ir. H. P. Berlage ketika berkunjung ke Gedung Sate pada tahun 1923. Banyak arsitek dan ahli bangunan yang berpendapat bahwa Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona. Dua arsitek Belanda, Cor Pashier dan Jan Wittenberg juga menyatakan bahwa langgam arsitektur gedung sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa atau dikenal pula dengan nama arsitektur indis. Perancangan Gedung Sate sangat dipengaruhi oleh gaya perancangan arsiteknya, Ir. J. Gerber, yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda, Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara. Begitu banyaknya arsitek yang memuji keberhasilan desain Gedung Sate, sehingga tidak heran jika di dalam buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (1952) tercantum bahwa Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia.

Berdasarkan data yang didapatkan dari situs pemerintah Jawa Barat, kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik. Gedung Sate berdiri diatas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m². Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat “tusuk sate” dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden – jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara. Gedung Sate juga memiliki taman dan halaman yang tertata dengan baik. Di bagian depan kompleks bangunan terhampar alun-alun luas yang mampu menanmpung banyak orang. Gedung berwarna putih ini sampai sekarang masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.

Gedung Sate mulai dibangun pada tahun 1920. Dalam kurun waktu 4 tahun, telah diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf dan Perpustakaan). Pada tahun 1977, kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir. Sudibyo diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah. Bangunan baru ini terletak di sayap barat kompleks bangunan Gedung Sate.

Selain menjadi bangunan pemerintahan, saat ini taman Gedung Sate sudah menjadi tujuan obyek wisata baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Pada akhir pekan, halaman Gedung Sate akan dipenuhi oleh masyarakat yang berolahraga, duduk-duduk bahkan berjualan di sekitarnya. Seseorang yang lewat di depan Gedung Sate seketika akan terpesona dengan kemegahannya dan mengagumi keseluruhan kompleks bangunan Gedung Sate. Namun, masyarakat yang mengunjungi Gedung Sate tidak akan mengetahui kenyataan bahwa pembangunan kompleks Gedung Sate tidak dibangun dalam masa yang bersamaan, kecuali jika mereka sudah mengetahui sejarah bangunan tersebut. Hal itu terjadi karena arsitek Sudibyo mampu mengadopsi nilai dan prinsip yang dianut Gerber dalam perancangan Gedung Sate, untuk diterapkan pada perancangan bangunan baru di bagian barat kompleks Gedung Sate.

Dari tiga prinsip perancangan arsitektur kontekstual, Ir. Sudibyo tampaknya menerapkan prinsip replikasi dan harmoni pada desain bangunan baru di Gedung Sate untuk menciptakan kesan kontekstual bangunan baru terhadap bangunan lama. Bentuk massa bangunan baru mereplikasi bentuk massa bangunan lama di sayap timur kawasan Gedung Sate. Keberadaan dua masa bangunan (bangunan lama dan baru) di sayap timur dan barat kawasan menciptakan sumbu simetri pada Gedung Sate, sehingga kemegahan Gedung Sate makin terasa monumental.

Bangunan Gedung Sate menggunakan prinsip perancangan arsitektur indis. Menurut C. P. Wolff Schoemaker, arsitektur indis memiliki ciri bangunan dengan sosok yang umumnya simetris, memiliki ritme vertikal dan horizontal yang relatif sama kuat, serta konstruksi bangunannya disesuaikan dengan iklim tropism terutama pada pengaturan ruang, ventilasi masuknya sinar mataharim dan perlindungan hujan. Sudibyo juga mengharmonikan prinsip-prinsip tersebut dalam upaya mendesain bangunan yang kontekstual. Harmoni tersebut tampak pada elemen-elemen bangunan baru yang menggunakan prinsip pada bangunan lama. Empat elemen bangunan tersebut antara lain dinding, atap, pintu, dan jendela. Dinding bangunan lama Gedung Sate memiliki ketebalan hingga mencapi satu meter. Pada bangunan baru dinding dibangun memang tidak setebal dinding bangunan lama, namun proporsi dinding yang terlihat dari luar (fasade) menciptakan kesan ketebalan dinding yang sama dengan bangunan lama. Pada desain atap, Sudibyo juga mengambil nilai dan prinsip perancangan bangunan lama yaitu penyesuaian terhadap iklim tropis. Kemiringan atap material baru disesuaikan sehingga memiliki bentuk yang sama dengan bangunan baru. Begitupula dengan material yang digunakannya. Untuk perancangan pintu dan jendela, Sudibyo hanya menggunakan proporsi ukuran yang sama, namun tidak memakai jenis pintu dan jendela yang sama.

Bangunan baru di kawasan Gedung Sate ini dapat dikatakan berhasil karena mampu menyesuaikan konteksnya dengan bangunan yang lama. Keberadaannya makin menegaskan kebesaran bangunan pemerintah yang identik dengan desain yang simetri, kokoh, dan agak tertutup. Hal yang terpenting adalah keberadaan bangunan ini tidak pernah mencolok mata masyarakat yang memandangnya, namun bangunan baru tersebut dapat berdiri berdampingan dengan bangunan yang lama seakan-akan ia dibangun pada era yang sama, walaupun pada kenyataannya berbeda 50 tahun.

Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Dan Gedung Sate yang terkenal hingga saat ini adalah Gedung Sate dengan bangunan baru di sebelah barat kawasan.

Campus Center ITB: Kontekstual di antara Bangunan Kolonial

•October 28, 2010 • 1 Comment

Bagi seorang arsitek, membangun bangunan yang berhasil dan sesuai dengan konteks lingkungan di sekitarnya merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah. Apalagi jika bangunan tersebut dibangun di kawasan bangunan lama yang memiliki banyak nilai sejarah. Salah satu contoh bangunan kontekstual yang cukup berhasil merespon lingkungannya adalah Campus Center di Institut Teknologi Bandung. Arsiteknya adalah Baskoro Tedjo. Sebelum dibangun menjadi Campus Center, dilahan tersebut sudah terdapat sebuah bangunan yang disebut Student Center, yang fungsinya lebih dominan untuk menampung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa. Setelah itu, Campus Center atau yang dikenal dengan singkat CC ini pun dirancang dan dialihfungsikan sebagai information center Kampus ITB. Selain itu, bangunan ini juga menampung beberapa fungsi lainnya seperti kantor adminstrasi kemahasiswaan, ruang rapat, auditorium, cafe dan toko buku,  ruang pameran, serta sejumlah ruangan yang dipergunakan sebagai sekretariat lembaga-lembaga kemahasiswaan. Para pengguna yang terlibat menggunakan bangunan Campus Center ini mayoritas merupakan civitas akademika dari mahasiswa, dosen, maupun karyawan. Namun, tidak menutup kemungkinan bangunan ini juga digunakan oleh pihak di luar civitas akademika, mengingat fungsinya sebagai information center yang pasti akan banyak dikunjungi oleh orang-orang dari luar kampus ITB.

Apabila dibandingkan dengan bangunan-bangunan lama yang sudah lebih dahulu dibangun di ITB seperti Aula Barat, Aula Timur, dan 4 Labtek kembar, Campus Center akan terlihat kontras. Bangunan Campus Center ITB dirancang dengan langgam modern. Struktur utamanya menggunakan beton bertulang. Fasadenya didominasi oleh penggunaan kaca dengan frame baja. Atapnya pun didesain datar. Sedangkan bangunan eksisting di sekitarnya yang sudah berdiri sejak lama, dibangun dengan langgam kolonial. Bangunan-bangunan kolonial ITB itu identik dengan kolom-kolom besar dengan material batu kali dan atap miring dengan penutup sirap. Tentu saja Campus Center menjadi kontras jika dibandingkan dengan bangunan kolonial di sekitarnya.

Dalam prinsip desain arsitektur kontekstual, ada beberapa pendekatan dalam merancang bangunan yang sesuai konteks dengan sekitarnya. Pertama adalah prinsip replikasi dengan membangun bangunan yang sama persis dengan bangunan eksistingnya. Kedua adalah kontras, menciptakan bangunan yang benar-benar berbeda dengan bangunan yang sudah lebih dahulu ada. Dan ketiga adalah harmoni, mengambil elemen-elemen tertentu yang menjadi ciri khas pada bangunan lama, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bentuk baru pada bangunan yang baru. Dalam hal ini, sang arsitek, Baskoro Tedjo, tampaknya menerapkan gabungan antara prinsip kontras dan harmoni pada bangunan Campus Center-nya. Bentuk massa bangunan Campus Center terbentuk berdasarkan analogi sang perancang terhadap massa gerbang kampus ITB. Bentuk dua persegi panjang yang mengapit sebuah lingkaran di tengahnya pada gerbang kampus menjadi asal muasal bentuk CC ITB. Arsitek Campus Center ITB ingin menciptakan sebuah kesan yang menggugah dengan menciptakan pola berulang dari gerbang kampus hingga Campus Center.

Selain dengan pendekatan analogi tersebut, sang arsitek juga menerapkan prinsip harmoni pada bangunannya. Beberapa elemen-elemen bangunan lama ITB berhasil dipakaikannya ke bangunan baru dengan bentuk yang berbeda namun masih memiliki makna yang sama. Elemen yang pertama adalah kolom. Kolom bangunan kolonial ITB yang besar dan menggunakan batu kali tersebut digantikan dengan kolom beton finishing sebagai struktur Campus Center. Meskipun keduanya menggunakan material yang berbeda, masih ada unsur yang menjadi benang merah keduanya yaitu bentuk kolom yang bulat, serta proporsi dan skalanya yang sama. Elemen berikutnya yang juga diterapkan pada pembangunan Campus Center adalah sistem selasar. ITB terkenal dengan sistem selasarnya yang terdapat pada setiap bangunan. Selasar inilah yang menjadi salah satu pemersatu bangunan-bangunan yang ada di ITB, dan diterapkan pula pada bangunan Campus Center.

Lalu, ada satu elemen lagi yang menegaskan langgam modern pada bangunan ini, yaitu dominasi penggunaan kaca dengan frame baja sebagai fasade bangunan. Material kaca inilah yang akhirnya menyebabkan CC ITB terlihat sangat kontras dibandingkan bangunan-bangunan kolonial lainnya di ITB. Terkait dengan hal ini, saya akan menanggapinya dengan menggunakan preseden bangunan lain yang saya anggap sama kasusnya dengan Campus Center ITB, yaitu Museum Louvre karya I.M. Pei di Paris, Perancis. Louvre di Paris ini dibangun di kawasan bangunan bersejarah dan juga dirancang dengan pendekatan kontras. Prinsip perancangan kontras bukan berarti membangun bangunan yang mencolok mata seolah-olah berteriak, “Lihatlah aku!”, namun kontras dalam hal ini lebih dimaksud dengan menjadikan bangunan baru justru sebagai latar bagi bangunan lama, sehingga bangunan lama menjadi lebih menonjol. Oleh karena itu, penerapan kontras pada bangunan seharusnya membuat bangunan baru terlihat simpel, tenang, dan tidak banyak bicara. Konsep itulah yang diterapkan baik pada  Museum Louvre oleh I.M. Pei maupun pada Campus Center ITB oleh Baskoro Tedjo. Di balik penggunaan material kaca sebagai fasade, ada maksud tertentu yang ingin dicapainya.  Material kaca yang bersifat transparan dan tembus pandang mampu menciptakan bangunan yang menjadi latar dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya.

Dari Whole Building Design Guide, ada beberapa kriteria suatu desain dapat dikatakan berhasil, antara lain aksesibel, estetik, biaya, fungsional, pelestarian sejarah, produktif, selamat dan aman, serta berkelanjutan. Dari segi estetika, CC ITB menerapkan prinsip golden section pada skala bangunan serta ukuran dan jarak elemen-elemen bangunannya. Campus Center ITB juga merupakan bangunan yang aksesibel, dilihat dari usaha arsiteknya membuat banyak ramp di dalam dan di luar bangunan. Namun, dari sisi keberlanjutannya, bangunan ini tidak menyumbang dikarenakan bentuk atap datar yang membuat suhu termal bangunan menjadi lebih tinggi dan fasadenya modern dengan material kacanya yang berdampak buruk bagi global warming.

Keberhasilan dari segi desain bentuk dan fasade bangunan belum tentu menjamin keberhasilan pula pada perancangan program dan ruang dalamnya.  Di samping sebagian besar kritik positif terhadap bangunan ini, ada pula beberapa kritik negatif terhadap perancangan ruangnya. Hal pertama yang saya komentari adalah rotunda berbentuk bulat yang terletak di antara dua massa bangunan. Secara program ruang, rotunda ini difungsikan sebagai ruang penerima utama bagi para tamu atau pengunjung dari luar ITB. Namun, secara operasional, rotunda kurang mampu menjadi “penarik perhatian” bagi para tamu di ITB (non-civitas akademika). Meskipun bentuknya unik, tetapi skala ruang di dalam rotunda yang terlalu kecil tersebut membuatnya tidak cocok difungsikan sebagai ruang penerima. Permasalahan skala ruang ini tidak hanya terjadi pada rotunda saja, tetapi juga terjadi di ruangan lain di dalam Campus Center, yaitu toilet. Toilet CC Barat ITB berukuran sangat kecil, bahkan lebih kecil daripada ukuran standar toilet di buku Data Arsitek Neufert. Hal ini menyebabkan pengguna toilet merasa tidak nyaman menggunakannya. Psikologi masyarakat Indonesia terutama civitas akademika ketika beraktivitas di dalam ruangan tidak menjadi pertimbangan utama dalam perancangan bangunan ini. Masalah ruang berikutnya yaitu pada ruang-ruang sekretariat yang berdinding kaca. Secara psikologis, sekretariat atau kantor merupakan ruang privat yang membutuhkan tingkat privasi para penggunanya. Penggunaan kaca secara dominan pada ruangan dengan fungsi tersebut terkadang justru membuat privasi para pengguna ruangannya menjadi terganggu. Lalu, kritik lainnya adalah perancangan kolam air. Penggunaan kolam air yang terbuka memang kurang cocok diterapkan di daerah tropis dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Apalagi jika tidak didukung dengan perawatan yang memadai, kolam tersebut justru akan bernilai negatif. Hal tersebut terjadi pada perancangan Campus Center. Perawatan yang tidak mendukung menyebabkan kolam CC menjadi tidak terawat dengan baik.

Campus Center Institut Teknologi Bandung merupakan contoh yang baik sebagai bangunan kontekstual yang berhasil di antara bangunan-bangunan kolonial. Di samping beberapa kekurangan yang ada, banyak pula kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki oleh bangunan ini. Dan yang paling penting, Campus Center ITB saya nilai sukses memenuhi salah satu kriteria desain yang sukses yaitu produktif. Kehadiran CC ITB di tengah-tengah kampus ITB mampu membangun kehidupan aktivitas para civitas akademikanya terutama mahasiswa. Sehingga CC ITB bukan hanya sebuah space. Ia sudah menjadi place yang memiliki ruh kehidupan.

Arsitektur Kontekstual

•October 28, 2010 • Leave a Comment

Siti Arfah Annisa|15207057|Studi Literatur – Arsitektur Kontekstual

Arsitektur dan Penciptaan Ruang dan Tempat

Good architecture is like a piece of beautifully composed music crystallized in space that elevates our spirits beyond the limitation of time.

Sebuah ruang yang baik adalah yang dapat menampung dan mewadahi segala aktivitas di dalamnya. Dengan adanya aktivitas yang terjadi di dalamnya, maka sebuah space dapat dikatakan sudah menjadi place (tempat yang memiliki ruh/spirit kehidupan).

Sebuah ruang tidak harus diciptakan oleh lantai, dinding, dan atap yang berwujud secara fisik, namun juga dapat tercipta oleh salah satu dari ketiga hal tersebut baik yang berwujud benda fisik maupun hanya merupakan garis imajiner yang membentuk persepsi ruang.

Banyak elemen dan unsur yang mampu menciptakan sebuah ruang. Salah satu contohnya ada pada gambar di samping ini. Sebuah ruang cafe tidak hanya dapat dibentuk oleh lantai marmer, dinding masif, dan atap genteng. Tetapi, ruangan tersebut hanya diciptakan dari sebuah kanopi sederhana dan pagar rendah di sekelilingnya. Hanya dengan dua elemen tersebut, terciptalah ruang cafe outdoor yang nyaman bagi pengunjungnya.

Contoh lainnya terdapat pada gambar kedua di samping ini. Gambar tersebut menampilkan sebatang pohon yang tumbuh tegak di halaman rumput hijau nan luas.

Kita tidak dapat memandang arsitektur secara sempit, yang menyatakan bahwa arsitektur biasanya hanya berkutat pada bangunan. Arsitektur adalah menciptakan bentuk, tempat, dan ruang. Apabila persepsi yang salah tersebut yang menjadi pemahaman kita, maka secara spontan, kita pasti akan berpendapat bahwa gambar di samping bukanlah karya arsitektural.

Tetapi, pada dasarnya, perancangan arsitektur adalah perancangan ruang. Sebuah pohon di tanah lapang bisa jadi tidak bernilai menjadi sebuah ruang. Namun, apabila kita menilik lebih dalam, pohon tersebut juga menciptakan ruang di lapangan itu. Bayang-bayang pohon yang terjatuh di tanah menghasilkan garis imajiner yang seakan menjadi batas sebuah ruang. Sehingga kita tidak akan heran jika ada orang-orang yang merasa nyaman berteduh di bawah pohon rindang, karena memang secara tidak sadar dirinya telah mempersepsi tempat tersebut sebagai suatu ruang yang nyaman.

Arsitektur dan Konteks Kehidupan Kota

Isu green design kini telah berkembang sangat pesat, terutama dalam merespon masalah global warming yang juga semakin parah. Untuk membangun sebuah lingkungan binaan yang berkelanjutan, ada tiga unsur yang harus dicapai keberlanjutannya, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan.

Karakteristik sosial, ekonomi, dan lingkungan fisik suatu kota akan mempengaruhi desain arsitekturnya. Bandingkan saja kehidupan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah dan masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi. Atau kondisi sosial masyarakat yang tinggal di permukiman padat penduduk yang tertata dengan permukiman yang tidak tertata. Ataukah pula perbedaan kondisi masyarakat di negara maju dengan negara berkembang.

Jika kita melihat pada sejarah, ada sebuah peristiwa yang menjadi refleksi keterkaitan antara teknologi, sosio-ekonomi, dan lingkungan fisik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Persitiwa tersebut adalah revolusi industri di Eropa.

Masa revolusi industri ditandai dengan makin berkembangnya penggunaan mesin-mesin berat dan media transportasi jenis baru di Eropa. Akibatnya, kota menjadi tempat berkumpul dan berlalu lalangnya mesin-mesin tersebut. Orang-orang menjadi tidak nyaman lagi tinggal di kota karena polusi yang dihasilkan makin tinggi dari sebelumnya. Dampaknya, banyak orang yang pindah dari kota ke daerah-daerah pinggiran di sekitar kota. Selain itu, kemunculan mesin berat juga berpengaruh pada desain arsitektur. Pembangunan mulai menggunakan metode produksi massal sehingga bentuk dan langgam bangunan pun mulai bergerak ke arah arsitektur modern.

Sesungguhnya, aspek desain, sosial, ekonomi, dan teknologi, saling berpengaruh satu sama lain. Semenjak ditemukannya beton bertulang, pembangunan bangunan tinggi makin berkembang. Dan sejak ditemukannya lift, high rise building pun makin menjamur. Namun, pengaruh tersebut tidak hanya satu arah. Bahwa desain pun sebenarnya dapat mempengaruhi aspek sosial, budaya, dan lingkungan fisik dari suatu peradaban masyarakat.

Arsitektur Kontekstual dan Proses Pencarian Bentuk

Antara tahun 1880-1890 terjadi revolusi Industri kedua dalam bentuk rasionalisasi dan penggunaan mesin produksi. Dampak yang timbul akibat revolusi industri diantaranya adalah timbulnya sistem fabrikasi di mana sebagian besar elemen bangunan dibuat dipabrik, penggunaan mesin-mesin, teknologi baja tulangan,dsb. Sistem fabrikasi tersebut memungkinkan pembangunan dalam waktu yang relatif singkat.

Antara tahun 1890-1910 gerakan yang menentang peniruan dan pengulangan bentuk kaidah dan teori lama semakin meluas ke seluruh dunia.Dalam masa modernisasi awal teori-teori keindahan dalam arsitektur berkembang secara radikal menentang klasikisme. Sejalan dengan hal itu berlangsung pemasyarakatan fungsionalisme yang mengakibatkan lahirnya gerakan arsitektur modern.

Gaya arsitektur modern muncul sebagai gaya internasional yang cukup memiliki kemiripan di semua tempat, semua negara. Setidaknya, gaya modern tetap mengusung fungsi ruang sebagai titik awal desain sehingga, pada zaman itu bangunan-bangunan yang muncul mempunyai style yang hampir sama meskipun diberbagai tempat yang berbeda. Bahkan, bangunan-bangunan yang muncul terkadang tidak memperhatikan kondisi lokal lingkungan sekitar. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa arsitektur pada masa itu tidak mempunyai ruh.

Pada saat-saat seperti itulah , muncul gerakan arsitektur kontekstualime. Kontekstualisme muncul dari penolakan dan perlawanan terhadap arsitektur modern yang antihistoris, monoton, bersifat industrialisasi, dan kurang memerhatikan kondisi bangunan lama di sekitarnya.

Kontekstualisme selalu berhubungan dengan kegiatan konservasi dan preservasi karena berusaha mempertahankan bangunan lama khususnya yang bernilai historis dan membuat koneksi dengan bangunan baru atau menciptakan hubungan yang simpatik, sehingga menghasilkan sebuah kontinuitas visual.

Kontekstualisme berusaha untuk menciptakan arsitektur yang tidak hanya berdiri sendiri, namun mampu memberikan kontribusi terhadap lingkungan sekitarnya.

Brent C. Brolin dalam bukunya Architecture in Context (1980) menjelaskan, kontekstualisme adalah kemungkinan perluasan bangunan dan keinginan mengaitkan bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya.

Dengan kata lain, kontekstualisme merupakan sebuah ide tentang perlunya tanggapan terhadap lingkungannya serta bagaimana menjaga dan menghormati jiwa dan karakter suatu tempat.

Untuk mewujudkan dan menciptakan arsitektur kontekstual, sebuah desain tidak harus selamanya kontekstual dalam aspek form dan fisik saja, akan tetapi kontekstual dapat pula dihadirkan melalui aspek non fisik, seperti fungsi, filosofi, maupun teknologi.

Kontekstual pada aspek fisik, dapat dilakukan dengan cara mengambil motif-motif desain setempat: bentuk massa, pola atau irama bukaan, dan ornamen desain, menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi mengaturnya kembali sehingga tampak berbeda, melakukan pencarian bentuk-bentuk baru yang memiliki efek visual sama atau mendekati yang lama, dan mengabstraksi bentuk-bentuk asli.

Adapun kontekstual dalam aspek non fisik dapat dilakukan melalui pendekatan fungsi, filosofi, maupun teknologi. Bangunan baru yang didesain ’kontras’ dengan bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan lama justru dianggap lebih kontekstual daripada bangunan baru yang dibuat ’selaras’, sehingga menghilangkan atau mengaburkan pandangan orang akan nilai historis bangunan lama.

Sehingga, untuk menjadikan sebuah desain kontekstual, bisa dengan menjadikannya ’selaras’ ataupun ’kontras’ dengan lingkungan sekitar dengan tetap mengedepankan tujuan dari kontekstual itu sendiri, yaitu menghadirkan ’kesesuaian’, dalam arti memperkuat, memperbesar, menyelamatkan, memperbaiki atau meningkatkan kualitas lingkungan yang ada.

Kontekstualisme sering disalahtafsirkan sebagai pola pemikiran yang hanya mempertimbangkan konteks sebagai unsur penting dalam pendekatan desain baru. Sebenarnya kontekstualisme mempunyai arti lebih spesifik. Bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri dan berteriak, “Lihatlah aku!” tetapi bahkan cenderung menjadi suatu bangunan yang menjadi latar belakang.

Di bawah ini adalah beberapa contoh preseden penerapan arsitektur kontekstual.

Eko Prawoto menerapkan arsitektur kontekstual dalam tiga karyanya yaitu Rumah Galeri Seni Cemeti, studio rekam Djaduk Ferianto, dan rumah Jeanni dan Lantip.

Rumah Galeri Seni Cemeti  merupakan contoh adanya dialog antara tradisi dengan modernitas. Dalam hal ini, Eko Prawoto berusaha meng’kontekstual’kan bagian-bagian bangunan yang masih menganut nilai-nilai tradisi lokal dengan yang sudah modern.

Studio rekam Djaduk Ferianto merupakan contoh dialog antara site yang relatif berkontur, ditepi sungai dengan bangunan diatasnya. Eko Prawoto berusaha untuk tidak merusak keadaan site yang sedemikian, namun justru menjadikannya sebagai generator dalam mendesain. Kasus ini dapat dijadikan sebagai contoh arsitektur yang kontekstual dengan alam.

Rumah Jeanni dan Lantip merupakan contoh adanya usaha dari sang arsitek untuk dapat menghadirkan bangunan yang mampu mewujudkan harmoni sosial dengan masyarakat disekitarnya.

Adapula preseden lainnya yang memakai konsep kontras dengan bangunan lamanya yaitu Louvre karya I.M. Pei di Perancis. Bangunan baru yang didesain ’kontras’ dengan bangunan lama, namun mampu memperkuat nilai historis bangunan lama. Kekontrasan Louvre justru memperkuat nilai historis dari bangunan lamanya.

Arsitektur bukanlah obyek yang berdiri sendiri, melainkan harus menjadi satu kesatuan harmonis dengan sekitarnya, menjadi satu kesatuan jaringan secara sosial, budaya maupun ekologis. Keberadaannya harus memberikan keseimbangan, tidak hanya mengambil tetapi juga memberi. Demikianlah juga kota, kota merupakan jaringan, anyaman ruang dan bangunan yang bertumpuk dalam rentang waktu. Beberapa elemen dirubah, dibuang, diganti, ditimpa atau disandingkan dengan elemen baru dan akan terus berlanjut begitu.

Referensi:

http://qolbimuth.wordpress.com/2008/03/05/kontekstualisme-dalam-arsitektur/

http://ayasmira.multiply.com/journal/item/14/Wujudkan_Arsitektur_dalam_Konteks_Ruang_Kota

Kehidupan Oase di Tengah Gurun

•October 28, 2010 • Leave a Comment

Sebuah oase di tengah kota Bandung sungguh benar-benar terasa sebagai pemuas dahaga dan penyejuk ubun-ubun di antara sengatan udara panas kota. Peningkatan suhu bumi saat ini sedang menjadi isu utama dimana-mana. Satu derajat celcius saja mampu mempengaruhi segala aspek kehidupan yang ada di dunia. Dan pengaruh pemanasan global tersebut pun ikut terbawa sampai ke sebuah ibukota Propinsi Jawa Barat, Kota Bandung.

Kota kembang. Kota cekungan. Kota kreatif. Kota taman. Banyak nama julukan yang diberikan untuk Kota Bandung, salah satunya adalah panggilan kota taman. Awal mula pembangunan kota Bandung ketika masa pemerintahan Hindia-Belanda, menerapkan konsep taman yang dihubungkan antara satu dengan yang lainnya sebagai jalur sirkulasi darat. Sebuah taman dapat menjadi penyejuk di antara padang pasir yang terik. Namun, kini konsep itu telah luluh lantak oleh konsep-konsep lain yang sembarangan dibuat baik oleh swasta maupun pemerintah.

Oase di tengah gurun kini sudah banyak yang mati. Hanya satu-dua yang hidup, sisanya juga tak bisa dibilang mati. Pun satu-dua yang hidup itu, sudah hampir mendekati mati. Tidak ada usaha sungguh-sungguh dari siapapun untuk menyembuhkan penyakit taman-taman tersebut. Tidak ada yang peduli, seakan-akan bukan urusan mereka jika taman itu mati. Oase di tengah gurun itu berjuang dengan dirinya sendiri.

Salah satu oase yang masih hidup di tengah padang pasir Bandung yaitu Taman Ganesha. Lagi-lagi taman ini hanya bertahan seorang diri, tanpa ada dukungan dari orang-orang yang sering beraktivitas di dalamnya. Semua orang, termasuk saya, merasa sangat nyaman beraktivitas di taman Ganesha. Sungguh teduh dan menenangkan. Meskipun begitu, masyarakat yang beraktivitas di sana tidak ada yang menyadari bahwa taman ini semakin lama semakin terpuruk, menuju kematiannya. Tidak ada yang mau menyadari, atau lebih tepatnya tidak ada yang mau peduli.

Taman Ganesha merupakan taman yang tenggelam, Sunken Park. Memang sengaja didesain demikian untuk merespon fungsinya sebagai daerah resapan air. Posisinya yang berada di daerah kontur terendah menjadikan sebagai tempat akhir mengalirnya air-air dari Bandung Utara.

Sebuah hal yang ironi terjadi akhir-akhir ini. Taman Ganesha sudah tidak mampu lagi meresapkan air ke dalam tanahnya. Air-air itu justru menggenang di permukaannya, membuatnya bertransformasi menjadi Danau Ganesha. Bukan sebagai daerah resapan air, tetapi sebagai daerah penampungan air. Apa pasalnya?

Lagi-lagi penyebabnya adalah hal yang dilematis. Sebuah taman tentu saja identik dengan pepohonan rindangnya yang mampu meneduhkan siapapun yang berada di dalamnya. Taman Ganesha cukup berhasil meneduhkan orang-orang yang datang ke sana. Hanya saja, kerindangan pohon-pohon besar di taman itu justru membawa dampak lain yang cukup signifikan dan mempengaruhi keberlangsungan hidupnya.

Pohon-pohon tua yang rindang di taman Ganesha memiliki tajuk yang sangat lebar. Jangkauan bayang-bayang dedaunannya sangat luas, menciptakan kenyamanan termal di area bawahnya. Sinar matahari hanya sedikit yang lewat di sela-sela rimbunnya dedaunan. Namun, ternyata sebuah kenyamanan ini harus dibayar mahal dengan tidak adanya rerumputan yang tumbuh di bawah pohon-pohon rindang tersebut. Tanah-tanah taman Ganesha gundul, licin, dan keras. Tak tampak satu pun jenis tanaman yang mampu hidup di tanah tersebut. Hanya lumut hijau yang tumbuh di bebatuan tanah. Tanah-tanah Ganesha rasanya sudah tidak memiliki vitalitas semuda dulu. Ia sudah tidak mampu menyerap air-air yang mengalir di daerah Sunken ini. Akibatnya air-air itu hanya memilih menggenang-genang di permukaannya.

Di taman Ganesha memang ada daerah-daerah yang tidak ditutupi oleh umbra dan penumbra pepohonan. Hanya saja, daerah itu justru menjadi ruang-ruang terbuka yang dipasangi hardscape (perkerasan) sehingga air tak mungkin menyerap di tempat itu.

Seharusnya hal tersebut sudah dipikirkan sejak awal bahwa tanaman tidak akan tumbuh di tempat yang tidak terkena sinar matahari, sehingga tidak terjadi hal yang demikian. Namun, yang sudah terjadi tidak dapat diulang kembali. Hal itu sudah menjadi takdir yang terlah tersuratkan. Yang dapat dilakukan adalah usaha untuk menciptakan dan melakukan yang lebih baik ke depannya. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menukar daerah bawah pohon rindang sebagai daerah hardscape, sedangkan daerah ruang terbuka sebagai daerah softscape.

Dengan melakukan hal tersebut, orang-orang akan berkerumun di daerah ruang terbuka yang dinaungi pepohonan. Sedangkan, untuk daerah yang terik dibiarkan sebagai ruang terbuka hijau dengan rerumputan serta segala jenis tanaman dan bunga yang ditanam di situ. Sehingga aspek fungsional dan estetika sebuah taman dapat dicapai.

Di bagian tengah taman Ganesha, ada sebuah kolam yang masih berdiri tegak dari dulu hingga sekarang. Kolam itu sekarang berisi air seperti susu coklat sehingga dasar kolam tidak dapat terlihat. Anak-anak pengemis kecil suka memanfaatkannya sebagai kolam renang. Bapak-bapak yang tidak ada kerjaan sering memancing di sana. Entah itu bisa disebut memancing atau tidak, karena pertanyaannya: adakah ikan di dalam sana?

Kolam Ganesha menjadi sebuah titik yang tidak hidup di dalam taman. Ia titik mati, hanya sebuah space bukan place. Meskipun ada jentik-jentik kecil yang terapung ringan di permukaan airnya, itu tidak membuatnya bisa disebut sebagai place yang mempunyai ruh. Kolam ini justru menjadi sumber penyakit bagi lingkungan di sekitarnya. Kolam air pada ruang terbuka bukanlah salah satu alternatif yang baik untuk diterapkan di daerah tropis. Apalagi di kota Bandung yang notabene memiliki tingkat kelembaban yang tinggi.

Jika tetap ingin memasukan elemen air dalam perancangan taman ini, akan lebih baik apabila kolam air yang statis ini diganti menjadi kolam air dinamis (aliran air) yang memanfaatkan kontur taman Ganesha yang miring dari utara ke selatan. Contohnya seperti kolam nada di daerah Plaza Widya ITB.

Untuk area yang sekarang menjadi kolam dapat dijadikan sebagai plaza ruang terbuka dengan titik-titik air yang bisa menyembur pada waktu tertentu dari lantai plaza seperti di Jerman. Dengan begitu, plaza dapat difungsikan untuk aktivitas lainnya seperti tempat anak-anak bermain atau hanya sekadar duduk-duduk di plaza sambil memperhatikan air-air yang menyembur dari lantai plaza tersebut.

Taman Ganesha saat ini memang sedang memiliki masalah. Dan setiap masalah tentu ada jalan keluarnya. Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan pula menghidupkan taman ini kembali. Hal mendasar yang harus ada untuk menghidupkan taman adalah kepedulian para pengguna taman itu sendiri. Percuma saja, jika banyak solusi dan usaha yang kita lakukan untuk menghidupkan oase di tengah gurun, namun manusia-manusia gurun itu justru meninggalkan oase-oasenya.

Taman Ganesha: Paru-Paru Kota yang Terlupakan

•October 28, 2010 • Leave a Comment

Ibarat fungsi paru-paru dalam tubuh manusia yang sangat penting, keberadaan suatu taman dalam kota akan memberikan sumbangan terhadap suplai oksigen dan suhu kawasan dalam kota tersebut. Maka, sudah seharusnya, para penghuni kota—termasuk masyarakat bawah, golongan elit, dan pemerintah—bersama-sama mendukung terciptanya taman kota yang terawat. Hanya saja, tidak semua orang memiliki kesadaran yang sama untuk menjaga dan merawat sebuah taman, sehingga masih banyak sekali taman-taman di kota Bandung yang sungguh indah dan apik dari segi estetika dan visualnya, namun tidak bersih dan terjaga dari segi perawatan dan penggunaannya oleh para pengunjung serta pengelola itu sendiri.

Adalah sebuah taman kota yang terletak di Jalan Ganesha 10, persis di depan Kampus Institut Teknologi Bandung. Dari segi ukuran, taman ini tidak begitu luas namun sangat asri karena berbagai tumbuhan yang ada di taman dan sekitarnya. Taman dilengkapi dengan banyak tempat duduk yang dapat digunakan untuk refreshing khususnya di siang hari. Karena lokasinya tidak jauh dari Kebun Binatang Bandung, taman ini sering digunakan oleh para pengunjung kebun binatang untuk beristirahat bersama keluarga sambil menikmati makan siang.

Taman Ganesha, yang dulu dikenal dengan nama Ijzermanpark, didesain dengan gaya Spanyol yang menggunakan aksis dalam perancangan tamannya. Di sekitar taman tumbuh pepohonan yang tinggi yang dihuni oleh beraneka ragam burung. Kawasan Jalan Ganesha memang diperuntukkan bagi konservasi beraneka ragam burung sehingga tidak satu pun burung yang ada diperbolehkan untuk diburu. Di pelataran depan taman ganesha, terdapatlah sebuah sculpture yang dikenal dengan nama Tugu Kubus. Sculpture ini menjadi ciri khas dari taman Ganesha dan kampus ITB yang memiliki makna In Harmonia Progresio. Sebelum orang-orang masuk melalui tangga yang terletak di sebelah kanan dan kirinya, visual mereka akan disambut dahulu oleh keberadaan sculpture ini.

Setelah menikmati penyambutan tersebut, sejumlah anak-anak tangga telah menunggu untuk dilalui oleh para manusia itu. Tangga yang terdapat di kanan dan kiri sculpture itu mengapit sebuah ruang terbuka berbentuk setengah lingkaran yang hanya ditumbuhi oleh rumput dan tanaman semak-semak dengan ketinggian yang cukup rendah. Pada bagian tanah yang miring, dibuatlah sebuah ukiran tanaman semak yang bertulisan “TMN. GANESHA” sebagai tanda pengenal taman tersebut. Di tempat terbuka itu sering diadakan berbagai kegiatan baik formal maupun informal oleh orang-orang yang hanya sekedar mengunjungi ataupun oleh para mahasiswa dari kampus ITB. Dari sekedar aktivitas duduk-duduk, diskusi kelompok, anak-anak bermain, sampai olahraga santai, semuanya ada si sini. Karena keberadaan pohon-pohon tinggi nan rindang di taman Ganesha ini, para pengunjung taman ini dibuat nyaman dengan suhu kawasan yang sejuk.

Penataan lansekap taman Ganesha menggunakan penggabungan antara bentuk linear yang difungsikan sebagai jalur sirkulasi dan bentuk lingkaran atau setengah lingkaran yang difungsikan sebagai ruang-ruang terbuka, tempat terjadinya segala aktivitas manusia. Di sekitar jalur sirkulasi, dibangunlah tempat-tempat duduk sederhana dengan finishing adukan semen biasa dengan peneduhnya yang menggunakan pergola. Tempat ini juga memiliki fasilitas hotspot sehingga mayoritas orang-orang yang duduk di tempat ini selain hanya menunggu, juga dapat menikmati fasilitas layanan internet tersebut.

Plaza utama taman Ganesha terletak tepat di bagian tengahnya. Plaza ini menjadi pusat aksis dari taman Ganesha. Di tempat inilah sebagian besar kegiatan formal dilakukan. Beberapa contohnya seperti acara pelatihan manasik haji, perlombaan anak-anak, talkshow, dan lain sebagainya. Dalam kesehariannya, plaza ini jarang difungsikan untuk kegiatan-kegiatan informal. Hal ini terjadi karena letaknya yang berada di tengah taman sehingga tidak terjangkau oleh keteduhan pohon-pohon rindang yang ada di taman tersebut. Oleh karena itu, daerah tengah ini menjadi cukup terik di siang hari. Selain itu, plaza tengah ini lebih sering dijadikan sebagai jalur sirkulasi oleh para penggunannya, sehingga tidak mungkin jika ingin mengadakan kegiatan informal yang hening tanpa gangguan di sini.

Sungguh banyak aktivitas yang bisa dilakukan di taman Ganesha dari pagi hingga sore hari. Namun, tidak begitu kondisinya jika aktivitas tersebut dilakukan di malam hari. Taman Ganesha dengan segala elemen fisiknya yang estetis dan memuaskan visual, justru menjadi tidak berguna kala di malam hari. Penerangan yang tidak mendukung, membuat taman Ganesha seakan-akan mati di malam hari.

Penerangan taman Ganesha sangat minim di malam hari. Hal tersebut membuat taman indah ini tidak pernah digunakan di malam hari. Selain menimbulkan rasa takut di malam hari di taman ini, keamanannya juga tidak bisa dijamin. Fenomena inilah yang sering terjadi di taman-taman yang ada di Indonesia. Sehabis tenggelam matahari, tenggelam pula segala kegiatan di dalam taman. Karena hal ini pula, sering terjadi hal-hal amoral yang tidak diharapkan di taman Ganesha ini. Tanpa penerangan yang mendukung, tidak akan ada aktivitas yang terjadi sesuai dengan fungsi taman seharusnya. Tanpa penerangan yang mendukung, justru akan terjadi aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsi dibangunnya taman pada awalnya.

Di tengah segala keindahannya, taman Ganesha ternyata juga termasuk salah satu dari sekian banyak taman yang terlupakan. Apa yang terlupakan? Kekurangan umum dari banyak taman yang ada di Indonesia adalah dari segi kebersihan dan perawatannya (maintenance).

Di salah satu bagian taman Ganesha, terdapat sebuah kolam berbentuk lingkaran yang mengikuti pola bentuk ruang-ruang terbuka di taman Ganesha. Bukannya menambah keindahan dari taman Ganesha, keberadaan kolam ini justru menjadi cermin untuk perawatan taman yang kurang baik. Air kolam yang kotor dan berlumut mengganggu pemandangan visual para pengunjungnya.

Permasalahan lainnya adalah pengelolaan sampah di taman Ganesha. Kesadaran hidup bersih dan teratur belum dimiliki oleh semua orang, sehingga para pengunjung taman cenderung memperlakukan taman sekehendak hatinya. Membuang sampah sembarangan, merusak fasilitas taman, mencorat-coret, dan merusak tanaman-tanaman yang ada di taman. Perilaku pengguna yang tidak bersih dan teratur ini, serta didukung dengan tidak adanya perawatan intensif terhadap taman dari para pengelola ataupun pemiliknya menyebabkan taman Ganesha menjadi taman indah yang terlupakan dari segi perawatan.

Dampak dari hal tersebut baru dirasakan beberapa bulan terakhir ini. Di musim hujan saat ini, ketika setiap hari hujan turun dengan curah yang cukup tinggi, taman Ganesha berubah menjadi danau Ganesha dimana segala elemen fisik nan indah yang dibangga-banggakan itu terendam dan tergenang oleh air kotor. Akumulasi dari perilaku manusia yang sembarangan justru akan mempengaruhi fungsi dan keberlanjutan dari suatu tempat, termasuk paru-paru kota yang terlupakan ini.

Berburu di Kota Yogyakarta: Dari Malioboro Hingga Abu Bakar Ali

•October 28, 2010 • Leave a Comment

Untuk episode ketiga dan terakhir ini, penekanan gambarnya lebih kepada urban design dan urban landscape di kota Yogyakarta. If you interest in urban, please take a look. Continue reading ‘Berburu di Kota Yogyakarta: Dari Malioboro Hingga Abu Bakar Ali’

Berburu di Kota Yogyakarta: Shalahuddin, Sang Pembebas Palestina

•October 28, 2010 • Leave a Comment


Kalau di ITB ada masjid Salman, di UGM namanya masjid Shalahuddin.

Perburuan yang kedua di Yogyakarta adalah ketika kunjungan ke masjid kampus UGM. Episode kedua ini saya beri judul: “Shalahuddin Sang Pembebas Palestina”, yang menunjukan kegagahan, kepiawaian, dan permainan cantiknya dalam strategi perang. Sifat Shalahuddin tersebut diimplementasikan dalam pembangunan masjid Shalahuddin UGM.

Di kumpulan foto inipun tidak akan banyak dominasi manusianya. Fokus hanya pada eksplorasi arsitektur dan lansekapnya. Enjoy! (Tunjuk fotonya lagi untuk melihat judulnya.)

Continue reading ‘Berburu di Kota Yogyakarta: Shalahuddin, Sang Pembebas Palestina’

House in Twilight

•October 28, 2010 • Leave a Comment

Menikmati Twilight seakan-akan membawa kita ke alam mimpi. Subhanallah, efek-efek yang ditampilkannya sungguh sangat mempesona. Dari awal, kita sudah disuguhi keindahan mulai dari kealamian hutan di Phoenix–Arizona hingga pesona arsitektural di Forks–New York. Bentang alam yang langka bisa ditemukan di Indonesia.

Yang paling membuatku berdecak kagum adalah House of Cullen di Forks. Pertama kulihat, rumah ini seakan memancarkan daya magis tersendiri yang menyelusup menghangatkan siapapun yang melihatnya. Benarkah itu?

Apakah kesan pertamamu terhadap rumah itu?

Secara emosional, aku melihatnya nyaman dan hangat. Seluruh fasade rumah yang didominasi oleh material kayu menciptakan kesan hommy and welcome. Pun lightingnya sungguh sangat natural. Sehingga secara keseluruhan rumah ini terkesan menyatu dengan alam (selain karena tempatnya berada di pedalaman hutan).

Subhanallah… Berkali-kali tak bosan kupandangi rumah ini. Sebuah karya manusia saja sudah begitu indahnya. Bagaimana dengan ciptaan Sang Arsitek sesungguhnya? Entah seberapa indahnya, tak terbayangkan.

First Visit to Bogota van Java

•October 28, 2010 • Leave a Comment

2nd of April 2010 is my first visit to Bogota van Java.

Sebelum saya berlanjut untuk menjelaskan apa itu Bogota van Java, mari kita tengok dulu Bogota nan sesungguhnya.

Bogota, ibukota Columbia, awalnya dikenal sebagai kota dengan jurang sosial yang jauh berbeda antar kalangan dan memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi. Penataan kota Bogota pun tidak terlalu baik dengan kepadatan penduduk yang tidak merata serta isu kemacetan dan kesemrawutan lalu lintasnya.

Semua hal itu kini berbeda. Semenjak Bogota dipimpin oleh Enrique Penelosa, kota ini mulai bergerak menjadi kota yang lebih baik.

Awal perubahan yang dilakukan oleh Enrique adalah Urban Land Reform, mereformasi lahan urban dengan mengubah area perumahan horizontal (padat penduduk) menjadi perumahan vertikal. Usaha ini menciptakan ruang-ruang terbuka publik yang didedikasikan untuk interaksi sosial masyarakatnya.

Di pusat kota Bogota terdapt petakan-petakan daerah ilegal yang ditinggali oleh kalangan bawah masyarakat. Di daerah ini amat rawan kriminalitas. Maka, Enrique menggusur daerah ilegal tersebut dan menjadikannya sebagai ruang terbuka publik dan fasilitas publik lainnya seperti taman kota, rusun, perpustakaan kota, sekolah, dan tempat penitipan anak.

Hal lainnya adalah mengangkat prinsip “mengutamakan manusia di atas mobil”. Desain jalan raya dibuat sedemikian rupa hingga “mengagungkan manusia”. Jadi, sebuah mobil harus mengalah dari manusia di jalan raya. Dengan prinsip ini pula, jumlah kendaraan pribadi tidak membludak, dan masyarakatnya lebih memilih menggunakan kendaraan publik seperti trem, bis, atau kereta, naik sepeda, maupun berjalan kaki.

Inti perubahannya adalah reformasi lahan kota. Itulah Bogota, ibukota Columbia. Sekarang kita kembali terbang menuju Bogota van Java.

Kalau Bandung dikenal dengan nama Paris van Java karena keindahan kotanya yang seperti Paris. Lalu apakah itu Bogota van Java?

Bogota van Java adalah kota Solo (atau nama resminya Surakarta). Secara pribadi, saya menamakannya demikian karena kasus yang terjadi pada kota Bogota juga terjadi di kota Solo. Semenjak walikota Joko Widodo memimpin Solo sejak tahun 2005, banyak perubahan yang terjadi di Solo, kota yang saya kunjungi pertama kalinya pada tanggal 2 April 2010.

Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui moto “Solo: The Spirit of Java”. Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat.

Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.

Dengan berbekal pengetahuan tersebut, saya datang ke Solo untuk melihat Solo yang sesungguhnya. Sayangnya, karena perihal waktu dan jadwal perjalanan, tidak banyak daerah yang saya lalui dan tak ada foto yang bisa saya ambil.

Setidaknya kunjungan pertama kali ini telah memperlihatkan sedikit wajah kota Solo. Mungkin jika ada kesempatan lain, saya bisa lebih mengeksplor kota itu.

Berburu di Kota Yogyakarta: Perhentian Pertama

•October 28, 2010 • Leave a Comment

Jangan berpikiran aneh dulu. Di Yogyakarta memang tidak bisa berburu binatang (atau mungkin bisa tapi saya tidak tahu), berburu yang dimaksud di sini adalah berburu foto (photohunting). Alhamdulillah, ada lebih dari 100 foto yang ditangkap, tapi hanya sedikit yang akan saya publikasikan.

Sebelum melihat lebih jauh, mohon maaf dulu karena saya kurang begitu suka memotret foto dengan obyek manusia yang lebih dominan dibanding latarnya. Kalaupun ada manusianya, biasanya hanya saya jadikan sebagai pencipta suasana atau skala di foto tersebut. Jadi, foto yang saya tampilkan lebih banyak mengeksplor arsitektur atau lansekapnya. Fotonya ada tiga episode. Ini yang pertama: “Perhentian Pertama”. Enjoy! (Tunjuk fotonya untuk melihat judulnya.) Continue reading ‘Berburu di Kota Yogyakarta: Perhentian Pertama’