Revitalisasi Lamin Dayak sebagai Hunian dan Aset Pariwisata

oleh Siti Arfah Annisa dan Atya Zahra

Pendahuluan

Suku dayak hidup di desa-desa, di pinggir hulu-hulu sungai di pedalaman Kalimantan. Secara tradisional, suku dayak hidup di rumah panjang, atau lamin dalam bahasa mereka. Ada juga yang menyebutnya balai, atau bentang. Rumah-rumah ini tersebar dari timur hingga barat Kalimantan, sampai perbatasan negara Malaysia dan Brunei. Struktur ruangannya unik, karena hanya ada satu tipe ruangan untuk sebuah keluarga.

Rumah panjang kebanyakan berdiri di sisi sungai. Panjangnya berkisar antara 60 hingga 150 meter dengan sisi beranda menghadap sungai. Persediaan makan dan gudang peralatan disimpan di lumbung padi yang ditempatkan terpisah di belakang atau di samping bangunan, sehingga dapat terhindar jika terjadi kebakaran, yang merupakan musuh utama rumah panjang. Dapur juga ditempatkan di belakang dan terpisah dari bangunan induk. Karena letaknya di sisi sungai, tidak ada kamar mandi di rumah panjang. Untuk keperluan tersebut, mereka cukup melakukannya di sungai terdekat.

Dewasa ini, suku dayak yang tinggal di rumah panjang makin menipis. Dua agama yang banyak dianut mereka, Kristen dan Islam, sama-sama menganggap bahwa tinggal di rumah panjang kurang higienis. Anggapan ini muncul karena suku dayak tinggal bersama dengan hewan ternak mereka yang berada di bagian bawah lamin. Lebih-lebih secara moralitas. Pemerintah Indonesia pun secara tidak sadar turut mendorong para suku tersebut meninggalkan rumah tradisonal mereka. Godaan kehidupan modern, penebangan hutan di seluruh pulau Kalimantan, membuat para suku tersebut kehilangan rumah dan kehidupan tradisional mereka. Ini lambat laun mendorong mereka lebih memilih hidup menyendiri dengan keluarga masing-masing. Namun keterampilan mereka mengukir dan melukis di atas kayu masih menjadi hal yang menarik. Paling tidak, mereka masih dibutuhkan untuk menghiasi perahu dan rumah-rumah baru.

Suku Dayak memang tidak banyak lagi yang tinggal di Lamin. Modernisasi mengurung mereka. Hutan tempat tinggal mereka diobrak-abrik penebang. Sungai sumber nafkah mereka dicemari kapal penumpang. Mereka kini lebih memilih hidup secara terpisah. Di kampung Datah Bilang, suku Dayak Kenyah yang kesohor dengan kesenian ukirnya, hidup tentram dalam kavling-kavling rumah panggung mereka. Tahun 1972, suku yang sebelumnya menghuni daerah Apoyakan ini bermigrasi. Kebutuhan akan garam, minyak dan fetsin menggoda mereka.

Rumah panjang hanya menjadi rumah adat, tempat untuk pertemuan dan belajar menari bagi anak-anak muda. Di kampung Mancong Kutai Barat, Lamin milik Suku Dayak Benua’ yang telah direnovasi, kini hanya menjadi objek wisata turis. Tidak ada lagi yang mau tinggal di sana. Wanita Dayak yang dulu terkenal dengan telinga panjangnya, kini bersembunyi. Sebagian memotongnya akibat malu dengan wanita kota yang modern. Belakangan mereka menyesal, karena yang bertahan dengan telinganya menjadi kaya karena dikontrak mahal oleh kantor-kantor televisi luar negeri.

Hutan-hutan Kalimantan memang tak lagi ramah. Penebangan besar-besaran yang terjadi di era 70-80an, menggunduli tanah tempat pohon melindungi batu bara dari matahari. Tiap tahun saat kemarau datang, kebakaran hutan yang bersumber dari pemanasan batu bara selalu terjadi, mengirim asap ke negara-negara tetangga. Tidak ada lagi kayu besi, kayu ulin kebanggaan warga Kalimantan. Bahkan kayu dengan garis tengah 30 cm saja seolah menjadi barang langka. Sungai Mahakam yang sehari-harinya penuh dengan log-log kayu, menjadi lengang. Tinggal suara demonstrasi buruh penebangan kayu yang menggema akibat PHK. Perusahaan mereka collaps. Tidak ada lagi kayu yang ditebang. Banjir tiap tahun menggenangi kota-kota di hilir sungai.

Suku Dayak seolah terjepit. Di tengah arus kemajuan yang seolah tak terjangkau, mereka mencoba hidup.Berbagai jalan mereka tempuh. Ada yang jujur dengan tetap memilih hidup berladang, ada juga yang naif. Yang terakhir ini menempuhnya dengan memberlakukan aturan-aturan yang kadang tidak rasional. Seperti mendenda dengan harga tinggi pemakai jalan yang sengaja atau tidak sengaja menabrak hewan di wilayahnya. Mereka terjepit dan marah.

Yang bertahan hidup di Lamin mengalami dilema. Tempat mereka yang dulunya di dalam hutan lebat, kini membentang jalan aspal, tepat di depan hidung mereka. Kabel-kabel listrik bergelantungan, menyentuh atap Lamin yang tinggi. Tragisnya, meski sering dipadati turis, PLN tak kunjung mau memberi mereka sambungan cuma-cuma.

Jika ditinjau dari penjabaran di atas, ada beberapa poin yang saat ini menjadi masalah terkait Lamin di suku Dayak. Permasalahan tersebut antara lain makin menipisnya jumlah suku Dayak yang masih mau tinggal dan melestarikan kehidupannya di rumah panjang karena faktor higienitas dan modernitas. Untuk itu, perlu ada solusi yang dapat mengatasi masalah kebersihan dan juga adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang semakin maju

Kondisi Asli Lamin

Lamin umumnya dihuni oleh 10-50 keluarga inti sehingga ukuran lamin sangat panjang; bisa mencapai 300m. Tiap keluarga inti tinggal di dalam bilik yang biasanya berukuran 3×4 m atau lebih. Setiap ada pertambahan keluarga, lamin akan diperpanjang atau membangun lamin baru, oleh karena itu lamin bersifat tumbuh.

Tiap bilik berisi tempat tidur, tempat bersalin, tungku, dan tempat sampah. Penulis menilai ukuran bilik cukup padat untuk keluarga inti yang beranggotakan empat kepala. Peletakan tempat tidur orangtua dan anak pada masing-masing bilik sebaiknya dipisah .Dan juga dinilai perlu adanya perbesaran bilik untuk memuat dua tempat tidur, kamar mandi, tempat bersalin, dan dapur.

Lamin yang tinggi ini dibuat dengan beberapa alasan. Diantaranya menghindari gigitan serangga tanah dan nyamuk, serta terbebas dari gangguan binatang liar. Sedangkan kolong rumah difungsikan sebagai tempat memelihara ternak, seperti ayam dan babi.

Solusi Permasalahan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemerintah mulai merenovasi dan membangun beberapa lamin untuk dijadikan objek wisata, namun proyek ini tidak mensejahterakan suku dayak. Niat baik pemerintah ini perlu disesuaikan dengan kondisi dan kenyamanan suku dayak. Oleh karena itu, penulis mengusulkan solusi untuk dua tipe permasalahan.

Pertama, dengan persetujuan suku dayak yang masih menghuninya, lamin akan direnovasi dengan memperbesar ukuran tiap bilik menjadi 7×7m serta menambah ruang pendukung seperti dapur dan kamar mandi. Peletakan ruang dalam bilik disesuaikan agar penghuni nyaman berada di dalamnya. Pengerjaan akan dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan suku dayak agar keduanya memiliki rasa kepemilikan terhadap lamin. Bantuan yang diberikan pemerintah berupa tenaga lapangan dan logistik. Pemerintah tidak perlu memberi bantuan dana karena bantuan tersebut rawan disalahgunakan.

Kedua, lamin yang telah ditinggalkan akan direnovasi tanpa perbesaran ruangan dan penambahan fasilitas. Lamin akan dirawat sesuai kondisi aslinya agar lamin ini dapat menjadi daya tarik pariwisata kalimantan.

Kendala yang akan Dihadapai dalam Proses Pengerjaan

Karena ukuran bilik akan diperbesar, maka ukuran lamin pun akan membesar. Sementara itu, ukuran lamin suku dayak tidak memiliki ukuran standar sehingga untuk memperbesar luasannya pun tidak bisa distandardisasikan ukurannya, tetapi hanya bisa ditentukan penataan dan sirkulasi ruangnya saja.

Permasalahan selanjutnya adalah tempat tinggal sementara untuk suku dayak disaat rumah lamin direnovasi. Oleh karena itu, perlu ada pemikiran lebih lanjut mengenai solusi yang dapat ditawarkan. Solusi yang dapat penulis ajukan antara lain merenovasi bilik-bilik di lamin secara bertahap sehingga keluarga yang saat itu laminnya sedang direnovasi dapat ditampung sementara di tempat-tempat tinggal darurat (misalnya rumah panggung kecil) sampai biliknya selesai.

Selain itu, apakah rumah lamin memerlukan listrik di masa modern ini? Sampai saat ini pun PLN masih tidak mau memberikan listrik secara cuma-cuma kepada masyarakat dayak. Tetapi pada kenyataannya, suku dayak perlu menggunakan listrik untuk beradaptasi dan mengakulturasikan budaya dengan modernisasi sehingga tingkat kesejahteraannya lebih terangkat lagi.

Untuk mengatasi masalah penggunaan listrik, seharusnya pemerintah mau membiayainya dalam rangka pengembangan aset pariwisata. Dengan berkembangnya kepariwisataan di masyarakat suku Dayak, setidaknya mereka akan memiliki mata pencaharian baru yang dapat dikembangkan dan meningkatkan pendapatan sehingga ke depannya suku dayak menjadi mandiri dan dapat membiayai kebutuhannya secara swadaya.

Kesulitan lainnya adalah kelangkaan material yang digunakan untuk membangun dan merenovasi rumah lamin yaitu kayu ulin. Bahan baku ulin dapat diatasi dengan cara penggunaan bahan imitasi seperti dari asbes maupun cor beton yang dibentuk menyerupai kayu ulin.

Salah satunya penggunaan atap produk seniaplex runcing atau sirap asbes. Secara kasat mata, sirap imitasi ini nyaris tak ada perbedaan dengan sirap aslinya yang terbuat dari ulin.

Belum lama ini setidaknya sudah dua kantor pemerintah daerah yang menggunakan sirap asbes, yaitu kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi dan kantor Gubernur Kalteng. “Sirap asbes ini pesannya langsung ke Surabaya karena di Banjarmasin belum ada agennya,” kata Udi, seorang pekerja renovasi atap kantor Gubernur Kalteng.

Sementara untuk mengatasi sulitnya mendapatkan kayu bulat besar yang dijadikan tiang rumah betang, kini dibuat dengan cor semen yang kemudian dicat hitam menyerupai ulin. Cara tersebut seperti dilakukan pada pembuatan rumah betang yang ada di komplek kantor Gubernur Kalteng.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalteng Saptanoesa Wenthe, yang juga seorang arsitek mengatakan mempertahankan arsitektur tradisional harus mengikuti perkembangan. Kelangkaan bahan baku kayu bisa diatasi dengan bahan imitasi atau tiruan.

Jika terpaku pada keaslian bahan baku maka arsitektur tradisional akan ditinggalkan. “Apalagi sekarang ulin sulit didapat. Yang pentingkan nilai seni dan filosofi yang terkandung dalam bentuk dan rupa bangunan,” katanya.

Berdasarkan solusi atas permasalahan higienitas yang penulis tawarkan muncul beberapa masalah lagi. Masalah higienitas terjadi karena tidak ada kamar mandi di lamin dan dialihfungsikan tempat aktivitasnya ke sungai terdekat. Selain itu, dahulu kolong lamin dipenuhi oleh ternak babi dan ayam, saat mengotori higienitas lamin terutama disebabkan oleh kotoran ternaknya.

Solusi yang penulis ajukan adalah diadakanya pembangunan kamar mandi untuk masing-masing bilik. Namun, kamar mandi tidak mungkin menggunakan material kayu ulin. Jadi, kami mengajukan penggunaan material seperti cor semen yang kedap air atau dilapisi keramik ataupun penggunaan seng.

Penulis juga mengkhawatirkan keberterimaan suku dayak akan lamin hasil renovasi. Walaupun sebenarnya dikerjakan bersama-sama, namun masih ada kekwahatiran suku dayak tetap tidak mau tinggal di Lamin lagi. Oleh karena itu, sebelum pengerjaannya sebaiknya dilakukan diskusi dan pendekatan ke suku dayak secara langsung mengenai kesediaan dan keberlanjutannya.

Selain itu, dikhawatirkan juga terjadinya korupsi bantuan (berupa dana maupun logistik) oleh pemerintah daerah sehingga dapat mengurangi kualitas lamin dari yang direncanakan serta mengurangi efektivitas kerja saat proses pengerjaan.

Penutup

Secara umum, masalah yang terjadi di suku dayak adalah bagaimana melestarikan dan memfungsikan kembali rumah lamin yang mulai ditinggalkan karena masalah higienitas dan modernitas.

Penulis mengajukan beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada yaitu merenovasi denah rumah lamin dengan menambahkan fungsi ruang baru (kamar mandi dan dapur) dan menjadikan rumah lamin sebagai salah satu aset pariwisata sehingga dapat mendongkrak kesejahteraan suku dayak dalam menghadapi tantangan di masa modern.

 

Daftar Pustaka

http://www.kompas.com/

http://www.melayuonline.com/

http://www.nurulhuda.wordpress.com/

Muhammad Chottob W.,”Lamin Suku Dayak”,Indonesia design, Vol.1, No.4, September-Oktober 2004, hal.13.

~ by Siti Arfah Annisa on February 17, 2009.

One Response to “Revitalisasi Lamin Dayak sebagai Hunian dan Aset Pariwisata”

  1. lala bis mintOL [minta tolong] gak…
    ko bisa dimuat makna ornament tipa rumah adat lamin na.
    pasti lebiH WaHHH…
    ditunggu ya..
    😀

Leave a comment