First Visit to Bogota van Java

2nd of April 2010 is my first visit to Bogota van Java.

Sebelum saya berlanjut untuk menjelaskan apa itu Bogota van Java, mari kita tengok dulu Bogota nan sesungguhnya.

Bogota, ibukota Columbia, awalnya dikenal sebagai kota dengan jurang sosial yang jauh berbeda antar kalangan dan memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi. Penataan kota Bogota pun tidak terlalu baik dengan kepadatan penduduk yang tidak merata serta isu kemacetan dan kesemrawutan lalu lintasnya.

Semua hal itu kini berbeda. Semenjak Bogota dipimpin oleh Enrique Penelosa, kota ini mulai bergerak menjadi kota yang lebih baik.

Awal perubahan yang dilakukan oleh Enrique adalah Urban Land Reform, mereformasi lahan urban dengan mengubah area perumahan horizontal (padat penduduk) menjadi perumahan vertikal. Usaha ini menciptakan ruang-ruang terbuka publik yang didedikasikan untuk interaksi sosial masyarakatnya.

Di pusat kota Bogota terdapt petakan-petakan daerah ilegal yang ditinggali oleh kalangan bawah masyarakat. Di daerah ini amat rawan kriminalitas. Maka, Enrique menggusur daerah ilegal tersebut dan menjadikannya sebagai ruang terbuka publik dan fasilitas publik lainnya seperti taman kota, rusun, perpustakaan kota, sekolah, dan tempat penitipan anak.

Hal lainnya adalah mengangkat prinsip “mengutamakan manusia di atas mobil”. Desain jalan raya dibuat sedemikian rupa hingga “mengagungkan manusia”. Jadi, sebuah mobil harus mengalah dari manusia di jalan raya. Dengan prinsip ini pula, jumlah kendaraan pribadi tidak membludak, dan masyarakatnya lebih memilih menggunakan kendaraan publik seperti trem, bis, atau kereta, naik sepeda, maupun berjalan kaki.

Inti perubahannya adalah reformasi lahan kota. Itulah Bogota, ibukota Columbia. Sekarang kita kembali terbang menuju Bogota van Java.

Kalau Bandung dikenal dengan nama Paris van Java karena keindahan kotanya yang seperti Paris. Lalu apakah itu Bogota van Java?

Bogota van Java adalah kota Solo (atau nama resminya Surakarta). Secara pribadi, saya menamakannya demikian karena kasus yang terjadi pada kota Bogota juga terjadi di kota Solo. Semenjak walikota Joko Widodo memimpin Solo sejak tahun 2005, banyak perubahan yang terjadi di Solo, kota yang saya kunjungi pertama kalinya pada tanggal 2 April 2010.

Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui moto “Solo: The Spirit of Java”. Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat.

Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.

Dengan berbekal pengetahuan tersebut, saya datang ke Solo untuk melihat Solo yang sesungguhnya. Sayangnya, karena perihal waktu dan jadwal perjalanan, tidak banyak daerah yang saya lalui dan tak ada foto yang bisa saya ambil.

Setidaknya kunjungan pertama kali ini telah memperlihatkan sedikit wajah kota Solo. Mungkin jika ada kesempatan lain, saya bisa lebih mengeksplor kota itu.

~ by Siti Arfah Annisa on October 28, 2010.

Leave a comment